Pekerjaan Sosial Setting Industri, CSR dan ComDev
Mohamad Kodir, S.Sos, M.Si
It is true that economic and social objectives havelong been seen as distinct and often competing. But this is a false dichotomy…Companies do not function in isolation from the society around them. In fact, their ability to compete depends heavily on the circumstances of locations where they operate.
Michael E. Porter dan Mark R. Kramer (2002: 5)
Pekerjaan Sosial Industri
Pekerjaan Sosial Industri (PSI) dapat didefinisikan sebagai lapangan praktik pekerjaan sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metoda pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan kerja. Istilah pekerjaan sosial industri, sesungguhnya memiliki beberapa nama lain, misalnya pekerjaan sosial kepegawaian (occupational social worker), pekerjaan sosial di tempat kerja (social work in the workplace) atau bantuan/pelayanan bagi pegawai (employee assisstance) (Straussner, 1989; Zastrow, 2000, Suharto, 2006). Dalam konteks ini, PSI dapat menangani beragam kebutuhan individu dan keluarga, relasi dalam perusahaan, serta relasi yang lebih luas antara tempat kerja dan asyarakat yang dikenal dengan istilah Tanggungjawab Sosial Perusahaan (TSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) (Suharto, 2007).
PSI menggunakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai pekerjaan sosial dalam pemberian pelayanan, program dan kebijakan bagi para pegawai dan keluarganya, manajemen perusahaan, serikat-serikat buruh dan bahkan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan.
Sebagaimana dinyatakan Akabas inti PSI meliputi kebijakan, perencanaan dan pelayanan sosial pada persinggungan antara pekerjaan sosial dan dunia kerja (Suharto, 2006). Contoh kegiatan
PSI antara lain mencakup program bantuan (bagi) pegawai, promosi kesehatan, manajemen perawatan kesehatan, tindakan affirmatif (pembelaan) karyawan dan keluarganya, penitipan anak, perawatan lanjut usia, pengembangan sumberdaya manusia (SDM), pengembangan organisasi, pelatihan dan pengembangan karir, konseling bagi penganggur atau yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tunjangan-tunjangan pegawai, keamanan dan keselamatan kerja, pengembangan jabatan, perencanaan sebelum dan sesudah pensiun, serta bantuan pemindahan posisi kerja, dan CSR.
CSR: Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Schermerhorn (1993) memberi definisi CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal. CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dankemitraan (Nuryana, 2005).
Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan(Corporate Giving/Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate philanthropy), Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan(Corporate Social Investment/Investing) yang didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif “amal” hingga “pemberdayaan” (Briliant dan Rice, 1988; Burke, 1988; Suharto, 2006).
Keterkaitan antara PSI dan CSR didorong oleh terjadinya kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat di singkat sebagai fenomena DEAF (yang dalam Bahasa Inggris berarti tuli) sebuah akronim dari Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2006):
Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger mania” dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan pengangguran, ekspansi dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.
Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai masalahsosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut akuntabilitas (accountability) perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula dalam kaitannya dengan kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.
Aquariumisasi dunia industri
Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rente ekonomi dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis dan filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup. Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja menuntut penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja. Melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya dilingkungan masyarakat.
Pelayanan sosial seperti perawatan anak (child care), pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja bisa merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini. Ide mengenai CSR sebagai sebuah tanggungjawab sosial perusahaan kini semakin diterima secara luas. Namun demikian, sebagai sebuah konsep yang masih relatif baru,
CSR masih tetap kontroversial, baik bagi kalangan pebisnis maupun akademisi (lihat Saidi dan Abidin, 2004). Kelompok yang menolak mengajukan argumen bahwa perusahaan adalah organisasi pencari laba dan bukan personatau kumpulan orang seperti halnya dalam organisasi sosial. Perusahaan telah membayar pajak kepada negara dan karenanya tanggungjawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan publik telah diambilalih pemerintah.
Kelompok yang mendukung berpendapat bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan dari para individu yang terlibat di dalamnya, yaknipemilik dan karyawannya. Karenanya, mereka tidak boleh hanya memikirkan keuntungan finansial bagi perusahaannya saja. Melainkan pula harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap publik, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Alasannya:
Masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimiliki dan direproduksi oleh perusahaan. Bukankah tanpa masyarakat perusahaan bukan saja tidak akan berarti, melainkan pula tidak akan berfungsi? Tanpa dukunganmasyarakat, perusahaan mustahil memiliki pelanggan, pegawai dan sumber-sumber produksi lainnya yang bermanfaat bagi perusahaan. Meskipun perusahaan telah membayar pajak kepada negara tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan publik.
Di negara yang kurang memperhatikan kebijakan sosial (social policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Konsep Piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol memberi justifikasi teoritis dan logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan CSR bagi masyarakat di sekitarnya (Saidi dan Abidin, 2004: 59-60). Dalam pandangan Carrol, CSR adalah puncak piramida yang erat terkait, dan bahkan identik dengan, tanggungjawab filantropis.
1.Tanggungjawab ekonomis
. Kata kuncinya adalah: make a profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba. Laba adalah fondasi perusahaan. Perusahaan harus memiliki nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat agar perusahaan dapat terus hidup survive) dan berkembang.
2.Tanggungjawab legal
. Kata kuncinya: obey the law. Perusahaan harus taat hukum. Dalam proses mencari laba, perusahaan tidak boleh melanggar kebijakan dan hukum yang telah ditetapkan pemerintah.
3.Tanggungjawab etis
. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menjalankan praktek bisnis yang baik, benar, adil dan fair. Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagiperilaku organisasi perusahaan. Kata kuncinya: be ethical
4.Tanggungjawab filantropis
. Selain perusahaan harus memperoleh laba, taat hukum dan berperilaku etis, perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua. Kata kuncinya: be a good citizen. Para pemilik an pegawai yang bekerja di perusahaan memiliki tanggungjawab ganda,yakni kepada perusahaan dan
kepada publik yang kini dikenal dengan istilah non-fiduciary responsibility
Sebagaimana dinyatakan Porter dan Kramer (2002) di awal tulisan, pendapat yang menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial adalah terpisah dan bertentangan adalah pandangan yang keliru. Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Faktanya, kemampuan perusahaan untuk bersaing sangat tergantung pada keadaan lokasi dimana perusahaan itu beroperasi. Oleh karena itu, piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol harus difahami sebagai satu kesatuan. Sebab, CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu profit people dan plannet
(3P) Profit :. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang
memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
People : . Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia
Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat. Plannet : . Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana airbersih, perbaikan permukiman,
pengembangan pariwisata (ekoturisme).
Secara tradisional, para teoritisi maupun pelaku bisnis memiliki interpretasi yang keliru mengenai keuntungan ekonomi perusahaan. Padaumumnya mereka berpendapat bahwa mencari labalah yang harus diutamakan perusahaan. Di luar mencari laba hanya akan menganggu efisiensi dan efektifitas perusahaan. Karenanya, seperti dinyatakan Milton Friedman, CSR tiada lain dan harus merupakan usaha mencari laba itu sendiri (Saidi dan Abidin, 2004: 60). Kecenderungan selama ini menunjukkan semakin banyak kalangan akademisi maupun praktisi bisnis yang semakin menyadari pentingnya CSR. Mencari keuntungan merupakan hal penting bagi perusahaan. Tetapi, hal itu tidak harus melepaskan diri dari hal lain di luar mencari keuntungan, yakni mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. CSR sangat relevan diterapkan oleh dunia usaha di Indonesia.
Selain karena kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan di Indonesia cenderung bernuansa residual dan parsial (tidak melembaga dan terintegrasi dengan sistem perpajakan seperti halnya di negara-negara yang menganut welfare state), mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam kondisi serba kekuarangan. Penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dari kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar.
Penelitian PIRAC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari 115 miliar rupiah atau sekitar 11.5 juta dollar AS dari 180 perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Meskipun dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR di Amerika Serikat, dilihat dari angka kumulatif tersebut, perkembangan CSR di Indonesia cukup menggembirakan. Angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana bagi kegiatan CSR adalah sekitar 640 juta rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan. Sebagai perbandingan, di AS porsi sumbangan dana CSR pada tahun 1998 mencapai 21.51 miliar dollar dan tahun 2000 mencapai 203 miliar dollar atau sekitar 2.030 triliun rupiah (Saidi dan Abidin, 2004: 64). Apa yang memotivasi perusahaan melakukan CSR? Saididan Abidin (2004:69) membuat matriks yang menggambarkan tiga tahap atau paradigma yang berbeda. Tahap pertama adalah corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan.
Sumber: dinsos.jatengprov.go.id