Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia
Mohamad Kodir,S.Sos, M.Si
BAB I : PENDAHULUAN
Peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dari tahun-ketahun mengalami peningkatan, pada tahun 1980 berkisar 52,2 tahun, tahun 1990 menjadi 59,8 tahun, pada tahun 2000 bertambah menjadi 64,5 tahun dan pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 71,1 tahun. Seiring dengan penekanan terhadap berkembangnya angka kelahiran dan menurunnya tingkat kematian masyarakat Indonesia, ternyata laju pertumbuhan jumlah penduduk lanjut usia mengalami peningkatan yang tinggi, pada tahun 1990 masih 12,7 juta jiwa (6,56%), tahun 2000 menjadi 17,7 juta jiwa (9,77%) dan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 28,8 juta jiwa.
Dilihat dari perkembangan komposisi struktur penduduk, Indonesia sudah ada pada peduduk berstruktur tua ( PBB lebih 7% ), hal ini tentunya sangat mempengaruhi terhadap perkembangan isue sosial nasional yang akhirnya menjadikan paradigma pembangunan nasional khususnya bidang kesejahteraan sosial akan mengalami perubahan. Disatu sisi banyak pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya jumlah lanjut usia merupakan suatu aset bangsa, disisi lain meningkatnya jumlah peduduk dipandang sebagai problematika sosial yang sangat memerlukan perhatian khusus. Hal ini bisa kita cermati bahwa silkus kehidupan manusia secara terus menerus akan mengalami penurunan fifik, mental dan sosial, selanjut lanjut usia akan mengalami ketidak mampuan bahkan kehilangan daya tahan kehidupan ekonominya, pemeliharaan kesehatannya dan sosialnya sehingga cenderung mengalami kergantungan dan mengalami keterlantaran.
Arus globalisasi menjadikan arus informasi dan transportasi sepat, tidak saja menjadikan transpormasi budaya baru akan berkembang, tapi tingkat mobilitas penduduk akan tinggi, semuanya bisa menciptakan tuntutan perubahan tata hidup dan kehidupan dalam masyarakat itu juga berubah. Sistem kehidupan baru di masyarakat akan disertai tumbuhnya tuntutan butuhan-kebutuhan baru masyarakat tidak kecuali lanjut usia akan mengalami tata hidup dan kehidupan masyarakat akan berubah berarti pula akan terjadi perubahan sistim nilai masyarakat, seperti bentuk kekuarga dari keluarga besar menjadi keluarga kecil, dari kehidupan pertanian menjadi industri dll, semua ini bisa menajadikan nilai-nilai yang berlaku pada generasi sebelumnya tidak lagi menjadi anutan bagi generasi selanjutnya, diantaranya pemberian perhatian kepada lanjut usia.
BAB II : MASALAH DAN KEBUTUHAN LANJUT USIA
Perspektif biopsikososial-religius merupakan perspektif yang paling banyak dipergunakan dan diterima dalam berbagai aktivitas profesional pelayanan kemanusiaan khususnya pekerjaan sosial. Untuk memahami manusia secara utuh; pikiran, perilaku, perasaan, harapan, aspirasi, keinginan, kebutuhan, penyakit, gangguan, maka harus memahami manusia itu dalam konteks situasi/lingkungan di mana ia berada pada masa lalu dan masa kini.
Terdapat beberapa masalah yang dialami oleh lanjut usia ditinjau dari perspektif biopsikososial-religius. Penjabaran dari masalah-masalah tersebut adalahsebagai berikut ;
Hooyman dan Kiyak (1999) yang dipetik oleh Adi Fahrudin (2000) mengatakan bahwa proses penuaan secara biologi merupakan perubahan fisik yang menyebabkan berkurangnya efisiensi sistem organ tubuh manusia, seperti jantung dan sistem sirkulasi. Beberapa tanda-tanda fisik lanjut usia merupakan perubahan-perubahan dalam wujud fisik seperti; lambatnya tanggapan, kehilangan keberfungsiaan motorik dan sensori, kecenderungan pada keletihan yang lebih cepat, penurunan tenaga dan beberapa atau semua hal ini kadang-kadang digabungkan dengan penyakit-penyakit kronik atau progresif akibat suatu sifat ketidakmampuan.
Selanjutny perlu dipahami bahwa usia lanjut bukan merupakan sebab dari kematian. Kematian lebih disebabkan oleh suatu penyakit atau patologi. Hal ini karena berbagai perubahan dalam organisma manusia atau perubahan sejak dari saat kelahiran hingga kematian yang sifatnya tak pasti. Substansi vital dalam sel-sel yang dipergunakan telah habis, kehilangan informasi atau kesalahan dalam memberikan kode dari materi genetik asas (DNA), kelebihan protein dalam sel, atau sejak saat terjadinya proses konsepsi.
Kehilangan sel sejalan dengan rentang kehidupan organisma, termasuk kehilangan sel-sel neuron (sel dasar dari sistem saraf). Hal ini dipercayai mempunyai hubungan langsung pada rupa dan perilaku manusia sejalan dengan pertambahan usia. Walaupun perubahan tubuh berhubungan dengan lanjut usia, akan tetapi pengaruh persepsinya berkurang. Demikian pula pandangan dan pendengarannya mengalami penurunan secara bertahap dalam energi dan fungsionalnya walaupun telah muncul penurunan organik. Dengan kata lain ada suatu penurunan dalam mekanisme homeostatik dalam organisma yang membuat kepekaan individu meningkat terhadap tekanan lingkungan.
Lanjut usia merupakan salah satu peristiwa utama dalam rentang kehidupan seseorang. Usia 65 tahun umumnya merupakan usia pertengahan antara usia menengah dan usia tua (Santrock, 1999). Para ahli gerontologi yang mengkhususkan perawatan medik pada orang lanjut usia, membagi usia tua menjadi 2 kelompok, yaitu usia tua pertengahan (65-74 tahun) dan usia tua (75 tahun ke atas). Sementara menurut Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia memberikan pengertian, “lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas”.
Masyarakat kita cenderung menggambarkan lanjut usia menurut usia kronologis, sementara pada masyarakat yang masih tertinggal (primitif), lanjut usia biasanya ditentukan oleh kondisi fisik dan mental dibanding menurut usia kronologis. Masalahnya bahwa setiap orang tidaklah memiliki kondisi fisik dan mental yang sama pada usia 65 tahun, karena penuaan adalah proses individual yang terjadi secara berbeda pada setiap orang, dan faktor-faktor sosio-psikologis dapat memperlambat atau mempercepat perubahan yang terjadi.
Penuaan (menjadi lanjut usia) adalah sebuah proses yang kompleks, di dalamnya banyak variabel yang mempercepat atau sebaliknya memperlambat proses penuaan tersebut. Seseorang yang mempunyai sakit dalam jangka waktu yang lama atau menderita kecacatan, akan lebih cepat menua daripada orang yang sehat (Kail & Kavanaugh, 2000). Pemikiran secara tepat mengapa kondisi-kondisi itu mempercepat proses penuaan tidaklah diketahui, namun lebih cepatnya proses penuaan tersebut mungkin disebabkan berkurangnya latihan fisik, perubahan bio-kimia yang tidak dikenali, atau akibat stress berat. Secara biologis beberapa hal yang mempercepat proses penuaan bisa berupa ; kecelakaan, patah tulang, luka berat, stress berat, dan penyalahgunaan obat atau alkohol. Kebiasaan atau pola makan yang tidak baik juga bisa mempercepat proses penuaan (Santrock, 1999).
Faktor lingkungan juga mempengaruhi proses penuaan. Orang yang secara fisik dan mentalnya aktif cenderung memperlambat proses penuaan, dan sebaliknya orang yang tidak atau kurang aktif cenderung mempercepat proses penuaan. Demikian pula, orang yang memiliki cara berfikir yang positif (positive thinking) cenderung untuk memperlambat proses penuaan, sementara orang yang sering gelisah, ketiadaan orang lain untuk berbicara, sering berfikir negatif (negative thinking), dan berada dalam suatu lingkungan yang asing dalam waktu yang lama, cenderung untuk mempercepat proses penuaan (Kail & Cavanaugh, 2000).
Bagi orang-orang yang kurang memiliki kebiasaan merawat fisiknya dengan baik, belum terlambat untuk berubah, yakni melalui berbagai latihan fisik. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa program latihan fisik bagi orang lanjut usia sangat bermanfaat dalam memelihara keberfungsian fisiologis, seperti latihan berjalan, berenang, dan angkat besi. Aktivitas mental untuk memelihara keberfungsian kognitif, dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti ; diskusi tentang sesuatu hal, akan lebih baik dengan mendatangkan pembicara dari luar. Traveling juga merupakan aktivitas mental bagi para lanjut usia.
Menurut Hooyman dan Kiyak (1999) dipetik oleh Adi Fahrudin (2000), proses penuaan psikologi merujuk kepada perubahan dalam hal proses sensori, proses persepsi dan keberfungsian mental (seperti memori, pembelajaran dan intelegensi), kapasitas penyesuaian, dan kepribadian. Perilaku orang lanjut usia sering dibandingkan dengan individu yang lebih muda. Perbedaan yang tampak antara dua kelompok dilihat pada aspek-aspek psikologi dari lanjut usia, seperti kemampuan intelektual mereka untuk belajar, pemecahan masalah dan berkreasi. Agaknya, masing-masing kelompok umur mempunyai kejadian yang berbeda dan situasi sosial yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa penerimaan intelektual lebih berhubungan daripada kesakitan dan penyakit dari lanjut usia.
Kecerdasan termasuk bagian penting dalam kehidupan seorang lanjut usia manakala mereka dapat meningkatkan penggunaan kemampuan untuk mengakses, menginterpretasikan dan memanipulasi lingkungannya. Para lanjut usia dapat mengalami penurunan keberfungsian pengetahuannya yang dapat diukur, namun demikian mereka dapat bekerja dengan lingkungannya melalui cara-cara yang bersifat non-intelektual. Sejumlah kajian tentang memori menunjukkan bahwa penampilan lanjut usia kurang baik dalam eksperimen yang memerlukan pengingatan dalam jangka pendek. Kalkulasi numerik dan kecepatan tanggapannya tampak agak berkurang sejalan dengan usia. Namun keberfungsian verbal muncul secara terus menerus mengalami peningkatan. Ada bukti yang kuat bahwa orang terus belajar dan merespon pengalaman baru hingga kematiannya tiba.
Dalam hal kepribadian manusia yang berhubungan dengan pertambahan usia, sering individu muncul dengan citra diri dan konsep diri yang berbeda dari imaginasinya. Hal ini dapat mempengaruhi sikap mentalnya yang akan memberi pengaruh terhadap hubungannya dengan orang lain. Sering individu menjadi menyadari dirinya, mereka dapat menarik diri dari kejadian-kejadian sosial dan mulai menolak identitas yang menjadi miliknya dan memperkuat apa yang dia percayai sebagai penyebab penolakan masyarakat pada dirinya, yaitu melalui penekanan tentang kemudaan dan keindahan fisik. Menurut Atchley, (2000) yang dipetik oleh Adi Fahrudin bahwa hal ini bersamaan dengan kejadian-kejadian kehidupan yang berhubungan dengan lanjut usia, seperti masa pensiun, akan semakin memperkuat citra dirinegatif (negative self image).
Tahap akhir kehidupan seseorang sebagaimana dikemukakan oleh Erikson (1963) adalah krisis psikologis, yaitu krisis integritas versus keputusasaan. Pencapaian integritas oleh lanjut usia mencerminkan arti dari kehidupannya, dalam hal ini individu secara bijaksana dapat mengerti kehidupan dirinya, menyadari tentang kemunduran potensi dan penampilan, serta siap menghadapi kematian tanpa rasa takut. Dengan kata lain, lanjut usia yang telah mencapai integritas, menerima semua peristiwa yang sudah terjadi kepadanya tanpa berusaha untuk menyangkal beberapa fakta yang tidak mengenakkan. Jika lanjut usia gagal atau tidak mencapai integritas, Jika tidak mampu mencapai integritas, maka keputusasaan akan mewarnai kehidupan masa tua, yakni penolakan terhadap kehidupan masa lalu, ketakutan pada kematian karena mereka merasa tidak cukup waktu untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Adapun tugas-tugas perkembangan lanjut usia meliputi :
1) Dapat menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik
2) Mencari kegiatan yang bersifat pribadi untuk mengganti tugas-tugas terdahulu di waktu muda
3) Melakukan kegiatan sosial di masyarakat
Peck (1968) mengemukakan bahwa ada 3 penyesuaian psikologis utama yang harus diupayakan untuk membantu para lanjut usia menemukan kepuasan dan arti dalam kehidupannya, yaitu :
Kepercayaan diri merupakan faktor kunci dalam kebahagiaan dan penyesuaian dalam kehidupan seseorang. Sebagaimana menurut Cooley (1902) dalam teorinya “Looking glass self” (cermin diri), bahwa orang-orang mengembangkan perasaan mereka ketika bergaul dengan orang lain. Jika orang lanjut usia diperlakukan oleh orang lain yang lebih muda sebagai orang yang berpenampilan kuno, uzur/pikun, tidak cakap, ketergantungan, maka para lanjut usia cenderung untuk memandang diri mereka dengan cara yang sama. Pada sisi lain, dengan kehilangan beberapa teman dekat dan keluarga karena kematian, hilangnya peran di pekerjaan, serta menurunnya kemampuan fisik dan psikis, menjadikan orang lanjut usia kurang memiliki rasa kepercayaan diri.
Para lanjut usia sering dipandang sebagai orang yang kesepian. Banyak diantara mereka yang berusia 70 tahun ke atas hidup sendirian baik karena berpisah dengan pasangan, ditinggal mati oleh pasangan atau memang mereka hidup sendirian tanpa menikah. Ketika seseorang hidup dalam sebuah perkawinan dalam jangka waktu yang lama, dan tiba-tiba pasangan hidupnya meninggal dunia, mereka merasakan kesendirian dalam menjalani kehidupannya, dan memandang kehidupan ke depan sebagai hal yang penuh dengan kehampaan. Keadaan tersebut menyebabkan orang lanjut usia menjadi depressi dan mengalami masalah emosional lainnya, seperti bersikap apatis terhadap lingkungannya, dan menarik diri sebagai bentuk dari kemunduran tingkah laku.
Religi dan spiritual merupakan komponen penting bagi kehidupan para lanjut usia, sebagaimana penting pula bagi semua kelompok usia. Agama dipandang sebagai faktor penting yang mencerminkan kesejahteraan atau kesehatan emosional dalam kehidupan lanjut usia. Koenig, George dan Siegler (1988) bertanya kepada 100 orang lanjut usia baik pria maupun wanita, usia mulai dari 58 sampai 80 tahun, untuk menceriterakan peristiwa yang terburuk dalam kehidupan mereka, dan bagaimana cara mereka mengatasinya. Dari sejumlah jawaban, ditemukan bahwa cara mereka mengatasi masalah (coping strategies) adalah dengan pendekatan religi, berupa : berdo’a, menempatkan keyakinan dan iman di dalam Tuhan YME, memiliki teman yang aktif di tempat peribadatan (Gereja), mengambil bagian dalam aktivitas di Gereja, membaca Alkitab.
Menjadi lanjut usia adalah sebuah proses yang panjang dalam kehidupan seseorang. Mencapai usia 65 tahun tidak serta merta menghancurkan kesinambungan hidup seseorang pada masa sekarang maupun tahun-tahun kehidupan selanjutnya. Mengenali fakta yang demikian akan mengurangi atau bahkan menghilangkan perasaan takut seseorang karena ia akan dan atau telah menjadi tua. Bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi/keuangan yang mencukupi, kesehatan yang baik, dan memiliki kesiapan untuk memasuki usia tua, lanjut usia dapat merasakan kehidupannya sebagai hal yang menyenangkan.
Beberapa orang lanjut usia mungkin mampu melakukan kegiatan usaha ekonomi, kegiatan berdasarkan hobbi atau dilibatkan dalam berbagai aktivitas yang berarti baik dalam bidang keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Sebagian lagi, para lanjut usia melakukan aktivitas memancing untuk menemukan kesenangan dan relax, atau piknik ke berbagai tempat yang menyenangkan. Ada pula mereka yang merasakan kesenangan di masa tuanya dengan melakukan aktivitas sesuai minatnya, seperti berminat ke tanam-menanam, mebeulair, jahit menjahit, menenun, lukisan, fotografi, dsb.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia, meliputi :
1) Kedekatan relasi personal.
Memiliki relasi yang dekat dengan orang lain adalah penting dalam kehidupan lanjut usia. Mereka yang memiliki sahabat karib merasakan kepuasan dengan hidup yang dijalaninya. Sejatinya bahwa semua orang memerlukan orang lain untuk berbagi perasaan, dipercayai dan mempercayai orang lain. Lanjut usia yang memiliki orang lain yang bisa dipercayai, menjadikan mereka mampu mengatasi berbagai cobaan yang muncul selama proses penuaan.
2) Pembiayaan.
Kesehatan dan pendapatan adalah dua faktor yang saling berhubungan erat dengan kepuasan hidup para lanjut usia. Ketika orang-orang berada dalam perasaan yang baik dan mempunyai uang, mereka dapat lebih aktif dalam kehidupannya, seperti pergi ke luar rumah untuk makan, mengunjungi tempat-tempat wisata, dan seterusnya, sehingga mereka memperoleh kebahagiaan dibanding mereka yang terus-terusan tinggal di rumah. Menabung sejumlah uang untuk cadangan pembiayaan dikehidupan mendatang menjadi penting, sekaligus sebagai pelajaran dalam mengatur anggaran dengan bijaksana.
3) Minat dan Hobi.
Secara psikologis orang-orang yang suka mengalami trauma karena memasuki pensiun (post power syndrome), mereka mengembangkan self-image dan minat dengan memusatkan pada pekerjaan. Orang yang mempunyai minat dan hobi yang bermakna dalam kehidupannya, setelah masa pensiun mencoba memanfaatkan waktu luangnya dengan melakukan aktivitas yang dapat menggantikan pekerjaan semula.
4) Identitas Diri.
Orang yang merasa senang dan realistis terhadap kehidupannya sekarang dan apa yang mereka inginkan agar dapat hidup dengan lebih baik, merupakan kesiapan untuk mengatasi tekanan dan krisis yang mungkin terjadi.
5) Pandangan ke arah masa depan.
Orang yang selalu memikirkan masa lalunya atau pencapaian prestasi di masa lalu, cenderung mengalami depressi pada saat memasuki lanjut usia. Sementara orang yang memikirkan atau menantikan kehidupan di masa depan biasanya mempunyai minat yang tinggi untuk menemukan tantangan baru dan kepuasan baru dalam menjalani sisa waktu kehidupannya. Dengan berpandangan ke arah masa depan, seseorang dapat merencanakan ketika masa pensiun datang, seperti merencanakan dimana dan dengan siapa mereka akan tinggal, dengan masyarakat yang bagaimana mereka akan hidup bersama, dan merencanakan bagaimana memanfaatkan waktu yang tersedia dalam hidupnya.
6) Mengatasi Krisis.
Jika seseorang yang belum beranjak lanjut usia, sudah mulai belajar secara efektif bagaimana mengatasi krisis, hal ini merupakan keterampilan yang sangat bermanfaat ketika memasuki lanjut usia. Keefektifan cara mengatasi krisis tersebut merupakan pembelajaran untuk mengatasi permasalahan yang muncul secara realistis dan konstruktif.
Hooyman dan Kiyak (1999) mengatakan bahwa proses penuaan sosial (social aging) merupakan perubahan peranan dan hubungan individu dalam struktur sosial, misalnya dengan keluarga dan kawan-kawan, dalam peranan yang berbayar dan tak berbayar, dan dengan organisasi termasuk kumpulan keagamaan dan politik. Seperti halnya proses penuaan biologi dan psikologi, dalam proses penuaan sosial ini peranan sosial para lanjut usia dan hubungan mereka juga berkurang. Hal ini mencakup kehilangan dari fungsi-fungsi pemeliharaan anak, kehilangan dari peranan kakek-nenek, kehilangan pekerjaan, dan beberapa peranan lainnya. Disini menunjukkan adanya bukti bahwa dampak negatif dari”kehilangan peranan” dan isolasi sosial. Tampaknya, hilangnya sumber-sumber yang progresif cenderung menimbulkan perasaan kehilangan bantuan. Perasaan ini pada gilirannya, menimbulkan adanya kebimbangan pada orang lanjut usia yang mencoba untuk mengatasinya, dengan cara-cara penyesuaian yang berbeda, beberapa diantaranya bahkan gagal.
Stres sebagai hasil dari perubahan yang drastik seperti hilangnya penghasilan, kematian dari pasangan hidupnya atau relokasi dari berbagai pilihan menimbulkan shock pada orang lanjut usia dan menyebabkan penyimpangan perilaku, emosional dan fisik. Kurang penting untuk dilontarkan, beberapa dari penyimpangan ini mungkin dapat dicegah dengan praktik dan kebijakan sosial yang akan menggantikan lingkungan sosialnya lebih simpatik untuk orang-orang lanjut usia.
Adaptasi dan penyesuaian pada lanjut usia yang penting adalah sebagian tergantung pada sejarah kehidupannya, akibat perubahan yang begitu besar dan mendadak seperti perubahan status, sifat hubungan-hubungan yang terdahulu dan caranya dalam mengatasi krisis kehidupan yang lalu, juga tergantung pada kemauan dari masyarakat untuk memberikan pelayanan dan dukungan sebelum atau selama mengalami krisis.
Masyarakat manusia memiliki kebiasaan yang berbeda dalam memperlakukan orang-orang lanjut usia yang tidak memiliki kemampuan. Ada masyarakat yang kurang menghargai keberadaan lanjut usia, bahkan ada masyarakat yang membiarkan lanjut usia terlantar kelaparan hingga meninggal, sehingga meninggalkan kesan adanya perlakukan salah terhadap lanjut usia, Sementara pada masyarakat yang lain ada yang memperlakukan orang lanjut usia dengan baik, tetap menghormati keberadaan mereka.
Secara individual, orang lanjut usia secara dramatis dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan orang-orang lainnya melalui sistem mikro, mezzo, dan makro.
Sistem mikro yakni interaksi antara individu lanjut usia dengan lingkungan terdekat, seperti dengan keluarga atau lembaga pelayanan dimana mereka tinggal. Sistem mezzo, merupakan interaksi lanjut usia dengan lingkungan di luar keluarga/lembaga, seperti dengan masyarakat setempat, dan sistem makro dimana individu lanjut usia berada dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Dalam kaitannya dengan sistem makro, ada dua dimensi, yaitu :
Perubahan-perubahan fisiologi, psikologi dan sosial turut memberi pengaruh pada perubahan pada dimensi religius. Lanjut usia yang dapat menerima hakekat penuaan mereka menganggap hari tua merupakan peluang untuk pengisian dengan kehidupan beragama. Namun tidak sedikit pula diantara lanjut usia tersebut terutama perubahan fisiologi, psikologi dan sosial yang drastik menyebabkan mereka kehilangan keyakinan akan Tuhannya. Hal ini turut memberi implikasi pada perubahan dalam aspek harapan hidup mereka. Motivasi kehidupan mereka turut berubah. Dalam dimensi religius, faktor penting yang perlu dipahami pekerja sosial adalah bagaimana falsafah hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat hidup pada lanjut usia serta bagaimana ketegaran iman yang mereka tunjukkan ketika menghadapi cobaan dalam kehidupan mereka.
Lanjut usia sebagai manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan sebagaimana umumnya, yaitu kebutuhan makanan, perlindungan, perawatan kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan sosial dalam mengadakan hubungan dengan orang lain.
Kebutuhan-kebutuhan utama (primer) lanjut usia meliputi :
Kebutuhan-kebutuhan kedua (sekunder) lanjut usia antara lain meliputi;
Berdasarkan uraian masalah dan kebutuhan lanjut usia tersebut di atas, secara ringkas permasalahan yang dialami lanjut usia meliputi :
Secara psikologis, tugas-tugas perkembangan lanjut usia meliputi :
kekuatan fisik
BAB III. PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA
Pekerjaan sosial merupakan profesi yang memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Berkaitan dengan hal tersebut Walter A. Friedlander (Syarif Muhidin), mengartikan pekerjaan sosial sebagai “suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan, yang bertujuan membantu baik perorangan, keluarga maupun kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial”. Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa pekerjaan sosial sebagai profesi yang memberikan pertolongan kepada klien baik individu (lanjut usia), kelompok maupun masyarakat didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan, dalam hal ini adalah menggunakan metode, keterampilan, dan teknik-teknik pekerjaan sosial.
Sementara itu National Association of Sosial Workers /NASW tahun 1973 (Morales, 1983) yang mendefinisikan bahwa pekerjaan sosial merupakan aktivitas professional yang bertujuan dalam membantu individu, kelompok atau masyarakat untuk memperkuat kemampuannya sendiri dalam keberfungsian sosial serta menciptakan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang menunjang tujuan tersebut. Kalimat pertama dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu aktivitas professional. Sebagai aktivitas preofesional, maka pelayanan yang diberikan oleh seorang pekerja sosial dapat didefinisikan secara tegas melalui pengetahuan, nilai-nilai serta keterampilan secara spesifik. Kalimat pertama dari definisi tersebut juga menunjukkan bahwa pekerja sosial melakukan praktik pertolongannya pada berbagai tipe klien, baik individu, kelompok, maupun masyarakat. Definisi di atas juga menekankan bahwa fokus perhatian pekerja sosial adalah keberfungsian sosial yang meliputi interkasi antara manusia dengan lingkungan sosialnya.
Definisi di atas juga menunjukkan bahwa fokus perhatian pekerjaan sosial adalah keberfungsian sosial yang meliputi interaksi antara manusia dengan lingkungan sosialnya. Siporin (1975), Johson (1989) Zastrow (1992), maupun Morales (1983) menjelaskan bahwa keberfungsian sosial mengacu pada berbagai fokus yang cukup luas yang meliputi :
Selain definisi tersebut, pekerjaan sosial melaukan praktek pertolongannya secara langsung (direct services), yaitu meningkatkan serta memperbaiki kemampuan orang/kelompok sasaran dalam mencapai keberfungsian sosial, serta secara tidak langsung (indirect services) yang berupaya untuk mengubah, memperbaiki, serta membangun kondisi kemasyarakatan yang berkaitan erat dengan keberfungsian sosial orang.
Selanjutnya, Betty L. Baer dan Ronald Federico (Morales, 1983) mengidentifikasi 10 (sepuluh) kompetensi awal dari seorang pekerja sosial :
Pelayanan sosial (social service) merupakan istilah yang digunakan untuk semua pelayanan (services) dan manfaat (benefits) yang berorientasi orang (Wickenden, 1976). Spicker (1995), menyatakan bahwa pelayanan sosial meliputi jaminan sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan sosial, dan pendidikan (sebagai lima besar). Ini merupakan pelayanan sosial secara luas. Selanjutnya, Romanyshyn (1971) memberikan arti pelayanan sosial sebagai usaha-usaha untuk mengembalikan, memertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga-keluarga melalui (1) sumber-sumber sosial pendukung, dan (2) proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu-individu dan keluarga-keluarga untuk mengatasi stress dan tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang normal. Pengertian yang dikemukakan oleh Romanyshyn ini mendekati pengertian dalam UU No 11 Tahun 2009 (pasal 1, ayat2) yang menyatakan pelayanan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Berdasarkan pengertian di atas maka pelayanan sosial pada hakekatnya mempunyai fungsi pencegahan (preventive), perawatan dan pemulihan (curing), dan pengembangan (developmental).
Dalam konteks pelayanan sosial lanjut usia maka pelayanan tersebut juga sejalan dengan fungsi-fungsi pelayanan sosial di atas sehingga pelayanan sosial kepada lanjut usia ada yang bersifat pencegahan dari timbulnya masalah pada lanjut usia, perawatan dan pemulihan dari permasalahan yang dihadapi dan pengembangan potensi sesuai dengan kemampuan agar tetap menjadi lanjut usia yang aktif. Pelayanan yang bersifat pencegahan termasuklah kegiatan yang bersifat kampanye guna penyadaran masyarakat tentang perlakuan yang manusiawi terhadap lanjut usia, penanaman nilai-nilai luhur penghormatan kepada orang yang berusia lanjut dan program perlindungan dan pelayanan luar panti yang ditujukan guna mencegah lanjut usia mengalami keterlantaran dan permasalahan sosial lainnya. Pelayanan sosial yang bersifat perawatan dan pemulihan kepada lanjut usia dapat dilakukan dalam pelayanan panti maupun luar panti. Manakala pelayanan yang bersifat pengembangan ditujukan untuk mengembangkan potensi lanjut usia khususnya lanjut usia yang produktif agar tetap aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Pelayanan sosial lanjut usia dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip, seperti : tidak memberikan stigma (destigmatisasi), tidak mengucilkan (deisolasi), menghindari sikap sensitif (desensitiasi), pemenuhan kebutuhan yang tepat, pelayanan yang komprehensif, tidak membesar-besarkan masalah (dedramatisasi) dan menghindari sikap belas kasihan (desimpatisasi), dan lain-lain.
Advokasi sosial merupakan tindakan yang secara langsung mewakili, mempertahankan, mencampuri, mendukung, atau merekomendasikan tindakan tertentu untuk kepentingan satu atau lebih individu, kelompok, atau masyarakat dengan tujuan untuk menjamin atau menopang keadilan sosial (Mickelson dalam Sheafor dan Horejsi : 2003). Sementara itu Schneider & Lester (2001) mendefinisikan advokasi pekerjaan sosial sebagai perwakilan eksklusif dan timbal balik untuk seorang atau beberapa klien atau untuk sebuah perkara dalam sebuah forum, upaya sistematik untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sistem yang tidak adil atau tidak responsif.
Selanjutnya menurut Sheafor & Horejsi bahwa tindakan advokasi bertujuan untuk membantu klien dalam menegakkan hak-hak mereka untuk menerima sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan atau untuk memberikan dukungan aktif terhadap perubahan-perubahan kebijakan dan program-program yang memiliki efek negatif pada klien baik secara individual maupun kelompok.
Berdasarkan kedua pengertian advokasi sosial tersebut, maka advokasi sosial bagi lanjut usia dapat diartikan sebagai tindakan untuk mewakili atau membela kepentingan klien (lanjut usia) baik melalui penanganan langsung atau melalui pemberdayaan dengan tujuan untuk menjamin atau mencapai keadaan lanjut usia yang sejahtera.
Sebagai salah satu bentuk layanan kepada Lanjut Usia khususnya di lembaga pelayanan, maka bimbingan psikososial harus dipahami dalam konteks; pengertian, tujuan, proses, strategi dan teknik, pelaksanaan/ implementasi praktek, dan evaluasi terhadap hasil bimbingan psikososial.
Dalam perkembangan dewasa ini, para ahli pekerjaan sosial telah coba menggabungkan dan melihat bahwa tingkah laku manusia selalu berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Oleh sebab itu penyelesaian masalah lanjut usia juga tidak terlepas dari aspek psikologis dan aspek sosial yang saling memberi pengaruh satu sama lain dan ini sangat berguna dalam penyelesaian masalah yang dihadapi lanjut usia. Berdasarkan hal tersebut maka Bimbingan Psikososial dapat diartikan sebagai “suatu proses pertolongan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk menata dan menstrukturkan kembali kepribadian dengan lingkungan sosial klien agar mereka dapat mencapai tahap keberfungsian sosial secara optimal”.
Bimbingan Psikososial bagi Lanjut Usia bertujuan untuk;
Fungsi Bimbingan Psikososial bagi Lanjut Usia :
Pelaksanaan bimbingan psikososial tidak bisa terpisahkan dengan kemampuan komunikasi seorang pekerja sosial. Komunikasi merupakan proses paling bermakna dalam prilaku manusia. Komunikasi merupakan cara seorang pekerja sosial lanjut usia melakukan hubungan dengan lansia dan metode utama dalam pemberian asuhan. Prinsip melakukan bimbingan psikososial :
Fase awal: Kontrak Terapeutik
Langkah-langkahnya sebagai berikut;
Pekerja sosial perlu menyiapkan tempat, format bimbingan psikososial, frekuensi sesi bimbingan psikososial, dan jangka waktu bimbingan psikososial.
Pekerja sosial perlu membuat kesepakatan tujuan bimbingan psikososial yang diadakan dengan klien, lalu pekerja sosial menilai kesiapan, komitmen dan partisipasi klien.
Fase pertengahan: Operasional terapeutik
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
Fase pengakhiran dan evaluasi
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
Perhatian yang paling besar dalam tradisi psikososial diberikan pada proses penyembuhan individual yang disebut one to one treatment atau intervensi individual, dan hal ini banyak dilakukan dalam case work. Pendekatan ini merupakan format penyembuhan yang memungkinkan klien untuk mendapatkan privasi, penerimaan, rasa aman, dan jaminan situasi yang sangat kondusif untuk membebaskan orang melihat diri mereka sendiri dengan cara-cara yang baru. Konseling dan terapi individu sering digunakan dalam pelaksanaan bimbingan psikososial individual.
Bimbingan psikososial kelompok merupakan salah satu tradisi dalam group work. Garvin (1987) mengatakan bahwa mengubah perilaku individu melalui kelompok lebih efektif daripada secara individual. Menurut Turner (1978) kelompok dapat membantu individu-individu menemukan rasa aman, identitas, penerimaan dari teman sebaya, kesempatan untuk menguji pendapat, mempelajari persepsi baru tentang realitas dan model-model perilaku baru, membuat bilai-nilai dan pendapat seseorang ditantang dengan cara yang tidak destruktif, serta mendapatkan simpati dan pemahaman ketika merasa sakit dan menderita.
Bimbingan psikososial keluarga sering dirujuk sebagai terapi keluarga. Menurut Turner (1978) terapi keluarga dalam konteks psikososial memiliki dua perspektif, yaitu terapi keluarga sebagai modalitas praktek (practice modality) dan terapi keluarga sebagai modalitas orientasi (practice orientation). Sebagai modalitas praktek, terapi keluarga berhubungan dengan gaya praktek (practice style) dimana seluruh anggota keluarga bersama-sama secara simultan berada dalam setting terapeutik formal. Hal yang penting dari proses teurapeutik dan medium terapi ini adalah proses keluarga itu sendiri, yakni interaksi di antara berbagai unsur keluarga. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa perspektif psikososial keluarga merupakan sumber pengaruh yang penting (critical). Keluarga memiliki pengaruh yang dapat menjadi sumber pertolongan dan sumber perkembangan bagi anggota-anggotanya, meskipun pada sisi lain dapat juga menjadi penyebab stress dan malfungsinya keluarga. Keluarga dapat menjadi sumber masalah, tetapi juga sekaligus merupakan sumber daya untuk mengatasi masalah.
Modalitas terakhir bimbingan psikososial adalah bimbingan psikososial komunitas. Dalam hal ini fokus pelayanannya adalah komunitas atau beberapa segmen dalam komunitas. Hal yang perlu dibedakan antara bekerja dengan segmen komunitas itu sendiri dan bekerja dengan beberapa segmen dalam komunitas untuk kepentingan individu, keluarga atau kelompok. Hal penting yang harus dilakukan oleh pekerja sosial yang melaksanakan bimbingan psikososial komunitas adalah secara konstan berusaha menentukan letak masalah yang teridentifikasi dalam sistem, pada komunitas atau pada individu-individu dan bagaimana mereka berinteraksi secara timbal balik satu sama lain.
Dalam bimbingan psikososial kepada lanjut usia baik yang bersifat individual, kelompok, keluarga maupun komunitas dapat menggunakan beberapa teknik bimbingan psikososial yang disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan lanjut usia.
Teknik-teknik tersebut antara lain;
1) Life review Therapy : terapi kenangan (reminiscence)
Terapi kenangan atau lebih dikenali dengan Life Review Therapy merupakan teknik bimbingan psikososial dengan cara merefleksikan kehidupan yang telah dijalani lanjut usia dan kemudian memecahkannya, mengorganisirnya dan mengintegrasikan dalam kehidupan sekarang. Life Review Therapy merefleksikan seluruh pengalaman hidup lanjut usia baik yang tidak menyenangkan maupun menyenangkan. Dalam kasus lanjut usia yang mengalami depresi, pekerja sosial bisa menggunakan bagian dari Life Review Therapy yaitu teknikReminscence agar lanjut usia dapat mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan dalam hidupnya selama ini. Teknin ini juga dapat meningkatkan kepercayaan diri lanjut usia.
2) Terapi Validasi : mengklarifikasi perilaku lanjut usia
Lanjut usia dengan masalah gangguan daya ingat ringan dapat dibantu dengan terapi ini. Terapi berupa identifikasi perilaku lanjut usia dan memahami maksud dari prilaku tersebut dan seorang pekerja sosial bisa memvalidasi dan mendiskusikannya dengan lanjut usia. Perilaku yang timbul biasanya bingung, mondar-mandir, gelisah, melakukan perilaku berulang, membuka baju atau celana dan lain-lain. Terapi ini sangat individual dan seorang pekerja sosial jangan sampai membuat lanjut usia malu dengan cara memperlakukan lanjut usia secara tebuka di tempat umum. Misal : Eyang ngompol yaa…? didepan orang lain. Lebih baik : Eyang bajunya basah, kita ganti dengan yang baru dan kering yaa…
3) Rileksasi
Dr. Edmund Jacobson pada tahun 1902, dan diperbaiki oleh Benson pada tahun 1950-an telah memperkenalkan teknik ini bagi menghadapi tekanan yang dialami. Salah satu daripada teknik ini dikenali sebagai “Pengenduran Otot-Otot Secara Progresif” (Progressive Muscle Relaxation). Melalui teknik ini, kesemua 14 kumpulan otot dalam badan ditegangkan dan dikendurkan satu persatu dan setiap pergerakkan perlu diberi perhatian dengan sepenuhnya (Sutterley, 1977). Dengan cara memberi tumpuan kepada penempatan otot-otot dan perbezaan ketegangan dan pengenduran, individu dapat mengalami sensasi ketenangan seluruh tubuhnya dan pada masa yang sama, memberi ketenangan kepada jiwanya untuk membentuk mental yang sehat. Relaksasi dapat mengurangi perasaan tegang ” stress” atau kecemasan. Relaksasi berupa upaya untuk memperbaiki sirkulasi darah dan mengendurkan otot dan sendi sehingga timbul perasaan relaks. Relaksasi dapat dilakukan secara individual atau kelompok. Latihan fisik yang dilakukan tidak perlu terlalu berat, tetapi fokus pada gerakan otot dan sendi yang diharapkan dapat meningkatkan curah jantung. Teknik-teknik dasar yang biasa dipergunakan antara lain :
Tabel 1: Latihan Rileksasi Pada Kumpulan Otot-Otot Badan
KEPALA DAN MUKA 1. Kerutkan dahi.
2. Tutup mata dengan kuat.
3. Buka mulut selebar-lebarnya.
4. Tolakkan lidah ke atas langit-langit mulut.
LEHER DAN TENGKUK
1. Baring dan dongak kepala anda hingga ke tahap maksimum.2. Tundukkan kepala sehingga dagu mencapai dada anda.
3. Sandarkan kepala ke kiri hingga telinga kiri mencapai bahu kiri anda.
BAHU
1. Angkat kedua-dua bahu anda hingga mencapai kedua-dua cuping telinga.2. Kemudian, angkat bahu kanan saja sehingga bisa mencapai cuping telinga kanan.
Ulang untuk bagian kiri pula.
TANGAN DAN JARI 1. Angkat kedua-dua tangan dan genggamkan kesemua jari dengan ketat.2. Jikalau anda duduk atau berbaring, tekan tangan kanan di permukaan tempat anda sedang menjalani latihan ini dengan sekuat hati, kemudian lakukan latihan yang sama pada tangan kiri.
3. Bengkokkan tangan anda di bagian siku, genggamkan tangan dan ketatkan seluruh otot tangan. Buat pada tangan kanan dan kemudian pada tangan kiri.
DADA 1. Tarik nafas yang panjang2. Ketat dan tegangkan otot-otot di bagian dada.
BELAKANG
1. Bengkokkan belakang dengan cara menolak kedua-dua tangan ke belakang.2. Bengkokkan badan ke depan supaya otot-otot di belakang badan terasa tegang.
PERUT
1. Ketatkan kesemua otot di bagian perut.2. Tolakkan otot-otot perut keluar (kembungkan atau buncitkan perut).
3. Tarik ke dalam otot-otot perut.
PUNGGUNG, KAKI DAN JARI KAKI
1. Ketat dan kerutkan punggung anda.2. Tekan tumit anda di atas permukaan tempat anda sedang berlatih.
3. Kerutkan semua jari kaki ke bawah seolah-olah boleh mencapai telapak kaki anda.
4. Kembangkan jari kaki ke atas seolah-olah boleh mencapai lutut anda.
[Teknik rileksasi otot-otot seperti yang disarankan oleh
Dr. Edmund Jacobson dipetik oleh Adi Fahrudin (2000)
4) Seni ( musik, tari, lukis dan film )
Terapi seni dapat berbentuk terapi musik, lukis dan puisi bagi lanjut usia. Hobby dan kebiasaan lanjut usia seperti; mendengarkan musik, menonton film yang disukai merupakan terapi yang cukup efektif untuk mengurangi ketegangan – stres akibat rutinitas hidup dan keluhan penyakit. Bisa dilakukan sendiri atau berkelompok, bisa aktif atau pasif.
5) Interpersonal terapi
Teknik ini dikembangkan oleh Gerald Klerman dan Myrna Weismann dengan memakai landasan prinsip pendekatan psikobiologik dari Adolf Meyer dan pendekatan interpersonal theory dari Harry Stack Sullivan. Interaksi antar pribadi akan mempengaruhi hubungan psikososial seseorang bahkan untuk seumur hidup. Pendekatan yang memfokuskan pada diri dalam hubungan antar pribadi akan menjadi landasan utama dalam menyembuhkan orang yang mengalami depresi. Terapi ini mengemukakan dua tujuan penting yang dianggap dapat meringankan penderitaan, yaitu;
6) ADL ( Actifity of Daily Living ) : aktivitas sehari-hari
7) Pendekatan perilaku/behaviour
8) Experiential confrontation (Gestalt two-chair dialogue) : konfrontasi pengalaman menggunakan dialog dua kursi model GESTALT)
9) Interpretation : menapsirkan tentang satu hal.
10) Paradoxical intention (memberi perhatian pada aspek-aspek yang bertentangan)
11) Therapy exploration : terapi untuk menggali perasaan dan masalah lanjut usia.
12) Therapy support : Terapi berupa pemberian dukungan dengan melibatkan potensi pendukung ( keluarga dan teman )
13) Reflection and clarification : merefleksikan dan mengklaifikasi perilaku lanjut usia.
14) Therapy self-disclosure (terapi untuk tujuan membuka diri)
15) Advice giving (pemberian nasehat/saran)
Pada dasarnya, bimbingan merupakan upaya terencana untuk mengoptimalkan potensi individu. Menurut Moretensendan Schmuller (2007:7) bahwa bimbingan diartikan sebagai bagian dari program pendidikan dalam membantu pencapaian seseorang dan staf pelayanan khusus melalui pengembangan kapasitas individu.
Bimbingan sosial adalah rangkaian kegiatan terencana, terarah, terstruktur dan sistematik untuk membimbing dan memberikan arah kepada klien dalam meningkatkan kemampuan, motivasi dan peranannya dalam rangka memperkuat keberfungsian sosialnya. Bimbingan sosial dalam konteks pelayanan bagi lanjut usia adalah “proses pelayanan yang ditujukkan kepada lanjut usia agar mampu mengembangkan relasi sosial yang positif dan menjalankan peranan sosialnya dalam unit pelayanan sosial lanjut usia, dan dalam lingkungan masyarakat”.
Tujuan Bimbingan Sosial adalah agar lanjut usia dapat;